Penerapan Prinsip Stratigrafi pada Konstruksi Geologi Regional

Stratigrafi adalah ilmu yang mempelajari tentang lapisan-lapisan batuan yang tersusun secara berurutan di permukaan bumi. Lapisan-lapisan batuan ini mengandung informasi tentang sejarah bumi, seperti usia, lingkungan pengendapan, perubahan iklim, aktivitas tektonik, dan kehidupan masa lalu. Dengan mempelajari stratigrafi, kita dapat mengetahui bagaimana bumi terbentuk dan berevolusi dari waktu ke waktu.

Konstruksi geologi regional adalah proses dan metode untuk membangun gambaran geologi dari suatu wilayah yang luas dan kompleks. Gambaran geologi regional ini meliputi struktur, litologi, stratigrafi, paleontologi, geomorfologi, dan geokimia dari wilayah tersebut. Tujuan dari konstruksi geologi regional adalah untuk memahami asal-usul, evolusi, dan dinamika dari wilayah tersebut.

Stratigrafi dan konstruksi geologi regional memiliki hubungan yang erat. Prinsip-prinsip stratigrafi dapat digunakan untuk membantu konstruksi geologi regional dengan cara memberikan petunjuk tentang urutan, korelasi, dan interpretasi dari lapisan-lapisan batuan di suatu wilayah. Prinsip-prinsip stratigrafi juga dapat digunakan untuk menentukan usia relatif dan absolut dari lapisan-lapisan batuan tersebut.

Indonesia adalah negara yang memiliki geologi yang sangat kaya dan variatif. Indonesia terletak di pertemuan antara tiga lempeng tektonik utama, yaitu lempeng Eurasia, lempeng Indo-Australia, dan lempeng Pasifik. Interaksi antara lempeng-lempeng ini menyebabkan berbagai fenomena geologi di Indonesia, seperti vulkanisme, gempa bumi, orogenesa, sedimentasi, metamorfisme, dan diagenesis. Oleh karena itu, Indonesia merupakan tempat yang ideal untuk menerapkan prinsip stratigrafi pada konstruksi geologi regional.

Dalam artikel ini, kita akan membahas tentang bagaimana prinsip-prinsip stratigrafi dapat digunakan untuk membangun gambaran geologi regional dari suatu wilayah di Indonesia. Kita juga akan memberikan beberapa contoh penerapan prinsip-prinsip tersebut pada beberapa wilayah di Indonesia, seperti Cekungan Ombilin, Pulau Jawa, Selat Makassar, dan lain-lain.

Prinsip-prinsip Stratigrafi

Stratigrafi didasarkan pada beberapa prinsip dasar yang dikemukakan oleh para ahli geologi sejak abad ke-17 hingga ke-19. Prinsip-prinsip ini adalah sebagai berikut:

  • Prinsip superposisi: Prinsip ini menyatakan bahwa dalam suatu susunan lapisan batuan yang tidak terganggu oleh proses tektonik atau erosional, lapisan batuan yang paling bawah adalah yang paling tua, sedangkan lapisan batuan yang paling atas adalah yang paling muda.
  • Prinsip horisontalitas asal: Prinsip ini menyatakan bahwa lapisan batuan yang terbentuk dari proses sedimentasi cenderung tersusun secara horizontal atau mendekati horizontal pada saat pengendapan. Jika lapisan batuan tersebut mengalami kemiringan atau lipatan, maka hal itu disebabkan oleh proses tektonik atau deformasi setelah pengendapan.
  • Prinsip pemotongan silang: Prinsip ini menyatakan bahwa jika suatu struktur geologi (seperti sesar, intrusi magma, atau saluran sungai) memotong atau menembus lapisan batuan lainnya, maka struktur geologi tersebut lebih muda daripada lapisan batuan yang dipotong atau ditembusnya.
  • Prinsip kesinambungan lateral: Prinsip ini menyatakan bahwa lapisan batuan yang terbentuk dari proses sedimentasi cenderung berlanjut secara lateral dalam jarak yang cukup jauh, kecuali jika terhalang oleh suatu batas fisik (seperti pegunungan, lembah, atau pantai) atau perubahan lingkungan pengendapan.
  • Prinsip keselarasan: Prinsip ini menyatakan bahwa lapisan batuan yang memiliki kesamaan dalam hal litologi, fosil, atau karakteristik lainnya dapat dikorelasikan atau disamakan usianya, baik secara lokal maupun regional. Prinsip ini juga dikenal sebagai prinsip korelasi stratigrafi.
  • Prinsip ketidakselarasan: Prinsip ini menyatakan bahwa jika terdapat suatu celah atau diskontinuitas antara dua lapisan batuan yang berbeda usia, maka hal itu menunjukkan adanya suatu peristiwa geologi yang mengganggu proses sedimentasi di antara kedua lapisan batuan tersebut. Peristiwa geologi tersebut dapat berupa tektonik, erosional, atau non-deposisional. Prinsip ini juga dikenal sebagai prinsip diskontinuitas stratigrafi.

Berikut adalah gambar yang mengilustrasikan prinsip-prinsip stratigrafi tersebut:

Gambar prinsip-prinsip stratigrafi

Konstruksi Geologi Regional

Konstruksi geologi regional adalah proses dan metode untuk membangun gambaran geologi dari suatu wilayah yang luas dan kompleks. Gambaran geologi regional ini meliputi struktur, litologi, stratigrafi, paleontologi, geomorfologi, dan geokimia dari wilayah tersebut.

Proses konstruksi geologi regional melibatkan beberapa langkah, yaitu:

  • Pengumpulan data: Langkah ini meliputi pengamatan lapangan, pengambilan sampel, pengukuran, pemetaan, dan pengujian laboratorium untuk mendapatkan data geologi dari wilayah yang diteliti. Data geologi ini dapat berupa data primer (yang diperoleh langsung dari lapangan) atau data sekunder (yang diperoleh dari sumber lain, seperti literatur, peta, foto udara, citra satelit, atau data geofisika).
  • Pengolahan data: Langkah ini meliputi analisis, interpretasi, integrasi, dan sintesis dari data geologi yang telah dikumpulkan. Tujuan dari langkah ini adalah untuk mengidentifikasi dan mengklasifikasikan unsur-unsur geologi dari wilayah tersebut, seperti jenis batuan, struktur geologi, fosil, mineral, unsur kimia, dan lain-lain. Langkah ini juga melibatkan penggunaan berbagai metode matematika, statistika, komputasi, dan grafis untuk memproses data geologi tersebut.
  • Pembuatan model: Langkah ini meliputi pembuatan model konseptual dan numerik dari gambaran geologi regional dari wilayah tersebut. Model konseptual adalah model yang menggambarkan hubungan kualitatif antara unsur-unsur geologi dari wilayah tersebut. Model numerik adalah model yang menggambarkan hubungan kuantitatif antara unsur-unsur geologi tersebut dengan menggunakan persamaan matematika. Model-model ini dapat berupa model dua dimensi (2D), tiga dimensi (3D), atau empat dimensi (4D) yang mencakup faktor waktu.
  • Pengujian model: Langkah ini meliputi pengujian validitas dan reliabilitas dari model-model yang telah dibuat. Pengujian ini dilakukan dengan cara membandingkan hasil prediksi dari model dengan data observasi atau eksperimen. Jika terdapat kesesuaian antara prediksi dan observasi atau eksperimen, maka model tersebut dapat dikatakan valid dan reliabel. Jika terdapat ketidaksesuaian antara prediksi dan observasi atau eksperimen, maka model tersebut perlu direvisi atau dikembangkan lebih lanjut.

Metode konstruksi geologi regional dapat bervariasi tergantung pada tujuan, skala, sumber daya, dan ketersediaan data dari wilayah yang diteliti. Beberapa metode yang umum digunakan adalah sebagai berikut:

  • Metode historis: Metode ini menggunakan pendekatan sejarah untuk merekonstruksi gambaran geologi regional dari suatu wilayah. Metode ini didasarkan pada asumsi bahwa proses geologi yang terjadi di masa lalu dapat dijelaskan dengan menggunakan hukum fisika dan kimia yang berlaku saat ini. Metode ini juga didasarkan pada asumsi bahwa lapisan-lapisan batuan yang tersusun di permukaan bumi mencerminkan sejarah geologi dari wilayah tersebut. Metode ini melibatkan penggunaan prinsip-prinsip stratigrafi, korelasi, dan penentuan usia untuk menentukan urutan, hubungan, dan interpretasi dari lapisan-lapisan batuan tersebut. Metode ini juga melibatkan penggunaan data paleontologi, paleoklimatologi, paleomagnetisme, dan isotop untuk mengetahui kondisi lingkungan, perubahan iklim, pergerakan lempeng, dan sumber-sumber energi di masa lalu.
  • Metode struktural: Metode ini menggunakan pendekatan struktur untuk merekonstruksi gambaran geologi regional dari suatu wilayah. Metode ini didasarkan pada asumsi bahwa struktur geologi yang terbentuk di permukaan bumi merupakan hasil dari gaya-gaya yang bekerja di dalam bumi. Metode ini juga didasarkan pada asumsi bahwa struktur geologi yang terbentuk di permukaan bumi dapat mempengaruhi proses-proses geologi lainnya, seperti sedimentasi, vulkanisme, metamorfisme, dan diagenesis. Metode ini melibatkan penggunaan konsep-konsep mekanika batuan, kinematika, dinamika, dan termodinamika untuk menganalisis dan memodelkan gaya-gaya yang menyebabkan deformasi batuan. Metode ini juga melibatkan penggunaan data geofisika, seperti gravitasi, magnetik, seismik, dan elektromagnetik untuk mendeteksi dan memetakan struktur-struktur geologi yang tersembunyi di bawah permukaan bumi.
  • Metode sistemik: Metode ini menggunakan pendekatan sistem untuk merekonstruksi gambaran geologi regional dari suatu wilayah. Metode ini didasarkan pada asumsi bahwa wilayah geologi merupakan suatu sistem yang terdiri dari berbagai komponen yang saling berinteraksi dan berubah sepanjang waktu. Metode ini juga didasarkan pada asumsi bahwa wilayah geologi dipengaruhi oleh faktor-faktor internal dan eksternal yang bersifat stokastik atau deterministik. Metode ini melibatkan penggunaan konsep-konsep sistem dinamis, teori informasi, teori kompleksitas, dan teori chaos untuk memahami dan memodelkan perilaku dan evolusi dari sistem geologi. Metode ini juga melibatkan penggunaan data multidisiplin, seperti biologi, ekologi, sosial, ekonomi, dan politik untuk mengetahui dampak dan implikasi dari sistem geologi terhadap lingkungan hidup.

Faktor-faktor yang mempengaruhi konstruksi geologi regional antara lain adalah:

  • Tektonik: Tektonik adalah ilmu yang mempelajari tentang pergerakan dan interaksi antara lempeng-lempeng tektonik yang membentuk kerak bumi. Tektonik dapat menyebabkan berbagai fenomena geologi, seperti gempa bumi, gunung berapi, pegunungan, lembah sungai, cekungan sedimen, dan zona subduksi. Tektonik juga dapat mempengaruhi distribusi dan karakteristik dari lapisan-lapisan batuan di permukaan bumi.
  • Vulkanisme: Vulkanisme adalah ilmu yang mempelajari tentang proses-proses yang terkait dengan pembentukan dan aktivitas gunung berapi. Vulkanisme dapat menyebabkan erupsi magma atau lava yang dapat membentuk batuan beku atau piroklastik. Vulkanisme juga dapat menyebabkan emisi gas atau abu vulkanik yang dapat mempengaruhi iklim dan lingkungan hidup. Vulkanisme juga dapat mempengaruhi struktur dan komposisi dari kerak bumi.
  • Sedimentasi: Sedimentasi adalah ilmu yang mempelajari tentang proses-proses yang terkait dengan pengangkutan, pengendapan, dan pengubahan dari material padat atau cair yang berasal dari erosi atau pelapukan batuan. Sedimentasi dapat membentuk batuan sedimen atau klastik yang tersusun dari fragmen-fragmen batuan, mineral, atau organik. Sedimentasi juga dapat membentuk batuan sedimen atau kimiawi yang tersusun dari senyawa-senyawa yang terlarut dalam air. Sedimentasi juga dapat mempengaruhi morfologi dan topografi dari permukaan bumi.
  • Erosi: Erosi adalah ilmu yang mempelajari tentang proses-proses yang terkait dengan pengikisan atau penghancuran dari permukaan bumi oleh agen-agen alami, seperti air, angin, es, atau gravitasi. Erosi dapat menyebabkan perubahan bentuk atau ukuran dari lapisan-lapisan batuan di permukaan bumi. Erosi juga dapat menyebabkan perpindahan atau hilangnya material dari suatu tempat ke tempat lain. Erosi juga dapat mempengaruhi siklus hidrologi dan biogeokimia dari bumi.
  • Diagenesis: Diagenesis adalah ilmu yang mempelajari tentang proses-proses yang terkait dengan perubahan fisik, kimia, atau biologis dari batuan sedimen setelah pengendapan. Diagenesis dapat menyebabkan perubahan tekstur, struktur, mineralogi, porositas, permeabilitas, atau komposisi kimia dari batuan sedimen. Diagenesis juga dapat menyebabkan pembentukan struktur sekunder, seperti nodul, konkresi, fraktur, atau sesar dalam batuan sedimen. Diagenesis juga dapat mempengaruhi sifat-sifat mekanik dan hidrolik dari batuan sedimen.

Berikut adalah gambar yang mengilustrasikan konstruksi geologi regional:

Gambar konstruksi geologi regional

Penerapan Prinsip Stratigrafi pada Konstruksi Geologi Regional di Indonesia

Prinsip-prinsip stratigrafi dapat digunakan untuk membantu konstruksi geologi regional dengan cara memberikan petunjuk tentang urutan, korelasi, dan interpretasi dari lapisan-lapisan batuan di suatu wilayah di Indonesia. Prinsip-prinsip stratigrafi juga dapat digunakan untuk menentukan usia relatif dan absolut dari lapisan-lapisan batuan tersebut.

Berikut adalah beberapa contoh penerapan prinsip-prinsip stratigrafi pada konstruksi geologi regional di Indonesia:

  • Cekungan Ombilin: Cekungan Ombilin adalah suatu cekungan sedimen yang terletak di Sumatera Barat. Cekungan ini memiliki luas sekitar 1.200 km2 dan kedalaman sekitar 5 km. Cekungan ini terbentuk akibat subduksi lempeng Indo-Australia di bawah lempeng Eurasia sejak zaman Mesozoikum hingga Kainozoikum. Cekungan ini mengandung berbagai jenis batuan sedimen, seperti konglomerat, pasir, lanau, batugamping, batubara, dan shale. Cekungan ini juga mengandung berbagai sumber daya alam, seperti minyak bumi, gas alam, dan batubara.Prinsip-prinsip stratigrafi yang digunakan untuk membangun gambaran geologi regional dari Cekungan Ombilin antara lain adalah:
    • Prinsip superposisi: Prinsip ini digunakan untuk menentukan urutan kronologis dari lapisan-lapisan batuan sedimen di Cekungan Ombilin. Berdasarkan prinsip ini, lapisan batuan yang paling bawah adalah yang paling tua, sedangkan lapisan batuan yang paling atas adalah yang paling muda. Lapisan-lapisan batuan sedimen di Cekungan Ombilin dapat dibagi menjadi beberapa formasi berdasarkan usia dan litologi mereka. Formasi-formasi tersebut adalah:
      Nama Formasi Usia Litologi
      Formasi Batanghari Paleosen-Eosen Konglomerat dan pasir
      Formasi Ombilin Eosen-Oligosen Lanau, batugamping, dan batubara
      Formasi Sawahtambang Oligosen-Miosen Pasir, lanau, dan shale
      Formasi Silo Miosen-Pliosen Pasir, lanau, dan shale
      Formasi Talawi Pliosen-Plistosen Pasir, lanau, dan shale
    • Prinsip horisontalitas asal: Prinsip ini digunakan untuk menentukan orientasi asal dari lapisan-lapisan batuan sedimen di Cekungan Ombilin. Berdasarkan prinsip ini, lapisan-lapisan batuan sedimen yang terbentuk dari proses sedimentasi cenderung tersusun secara horizontal atau mendekati horizontal pada saat pengendapan. Jika lapisan-lapisan batuan sedimen tersebut mengalami kemiringan atau lipatan, maka hal itu disebabkan oleh proses tektonik atau deformasi setelah pengendapan. Proses tektonik atau deformasi yang mempengaruhi Cekungan Ombilin antara lain adalah:
      • Subduksi lempeng Indo-Australia di bawah lempeng Eurasia yang menyebabkan kompresi dan lipatan pada lapisan-lapisan batuan sedimen di Cekungan Ombilin.
      • Aktivitas sesar-sesar yang berhubungan dengan zona subduksi yang menyebabkan patahan dan pergeseran pada lapisan-lapisan batuan sedimen di Cekungan Ombilin.
      • Intrusi magma yang berasal dari mantel bumi yang menyebabkan pembengkakan dan pengangkatan pada lapisan-lapisan batuan sedimen di Cekungan Ombilin.
    • Prinsip pemotongan silang: Prinsip ini digunakan untuk menentukan hubungan usia antara struktur geologi yang memotong atau menembus lapisan-lapisan batuan sedimen di Cekungan Ombilin. Berdasarkan prinsip ini, struktur geologi yang memotong atau menembus lapisan-lapisan batuan sedimen lebih muda daripada lapisan-lapisan batuan sedimen yang dipotong atau ditembusnya. Struktur geologi yang memotong atau menembus lapisan-lapisan batuan sedimen di Cekungan Ombilin antara lain adalah:
      • Sesar-sesar yang berhubungan dengan zona subduksi yang memotong lapisan-lapisan batuan sedimen dari berbagai formasi di Cekungan Ombilin. Sesar-sesar ini dapat dibedakan menjadi sesar normal, sesar geser, dan sesar naik.
      • Intrusi magma yang berasal dari mantel bumi yang menembus lapisan-lapisan batuan sedimen dari berbagai formasi di Cekungan Ombilin. Intrusi magma ini dapat berupa sill, dike, lakolit, atau batolit.
      • Saluran sungai yang berasal dari pegunungan sekitar yang memotong lapisan-lapisan batuan sedimen dari formasi-formasi muda di Cekungan Ombilin. Saluran sungai ini dapat membentuk lembah-lembah sungai dengan bentuk V atau U.
    • Prinsip kesinambungan lateral: Prinsip ini digunakan untuk menentukan keterhubungan lateral antara lapisan-lapisan batuan sedimen di Cekungan Ombilin. Berdasarkan prinsip ini, lapisan-lapisan batuan sedimen yang terbentuk dari proses sedimentasi cenderung berlanjut secara lateral dalam jarak yang cukup jauh, kecuali jika terhalang oleh suatu batas fisik atau perubahan lingkungan pengendapan. Batas fisik atau perubahan lingkungan pengendapan yang mempengaruhi kesinambungan lateral dari lapisan-lapisan batuan sedimen di Cekungan Ombilin antara lain adalah:
      • Pegunungan sekitar yang membentuk batas fisik bagi lapisan-lapisan batuan sedimen di Cekungan Ombilin. Pegunungan sekitar ini terdiri dari pegunungan Bukit Barisan di sebelah barat dan pegunungan Malintang di sebelah timur.
      • Perubahan iklim yang menyebabkan perubahan lingkungan pengendapan dari lapisan-lapisan batuan sedimen di Cekungan Ombilin. Perubahan iklim ini dapat berupa perubahan suhu, curah hujan, arah angin, atau tingkat laut.
    • Prinsip keselarasan: Prinsip ini digunakan untuk menentukan korelasi atau kesamaan usia antara lapisan-lapisan batuan sedimen di Cekungan Ombilin. Berdasarkan prinsip ini, lapisan-lapisan batuan sedimen yang memiliki kesamaan dalam hal litologi, fosil, atau karakteristik lainnya dapat dikorelasikan atau disamakan usianya, baik secara lokal maupun regional. Korelasi atau kesamaan usia antara lapisan-lapisan batuan sedimen di Cekungan Ombilin dapat ditentukan dengan menggunakan beberapa metode, seperti:
      • Metode litologi: Metode ini menggunakan kesamaan litologi atau jenis batuan sebagai dasar untuk mengorelasikan lapisan-lapisan batuan sedimen. Metode ini dapat digunakan untuk mengorelasikan lapisan-lapisan batuan sedimen yang memiliki litologi yang khas atau unik, seperti konglomerat, batugamping, atau batubara.
      • Metode fosil: Metode ini menggunakan kesamaan fosil atau sisa-sisa organisme sebagai dasar untuk mengorelasikan lapisan-lapisan batuan sedimen. Metode ini dapat digunakan untuk mengorelasikan lapisan-lapisan batuan sedimen yang mengandung fosil yang berumur pendek atau spesifik, seperti foraminifera, radiolaria, atau moluska.
      • Metode isotop: Metode ini menggunakan kesamaan isotop atau variasi atom dari suatu unsur sebagai dasar untuk mengorelasikan lapisan-lapisan batuan sedimen. Metode ini dapat digunakan untuk mengorelasikan lapisan-lapisan batuan sedimen yang mengandung unsur-unsur yang memiliki isotop yang stabil atau radioaktif, seperti karbon, oksigen, atau kalium.
    • Prinsip ketidakselarasan: Prinsip ini digunakan untuk menentukan adanya celah atau diskontinuitas antara dua lapisan batuan sedimen yang berbeda usia di Cekungan Ombilin. Berdasarkan prinsip ini, jika terdapat suatu celah atau diskontinuitas antara dua lapisan batuan sedimen yang berbeda usia, maka hal itu menunjukkan adanya suatu peristiwa geologi yang mengganggu proses sedimentasi di antara kedua lapisan batuan sedimen tersebut. Peristiwa geologi yang mengganggu proses sedimentasi antara lain adalah:
      • Tektonik: Tektonik dapat menyebabkan celah atau diskontinuitas antara dua lapisan batuan sedimen yang berbeda usia dengan cara menyebabkan pengangkatan, penurunan, lipatan, patahan, atau pergeseran pada lapisan-lapisan batuan sedimen tersebut. Contoh celah atau diskontinuitas yang disebabkan oleh tektonik adalah ketidakselarasan angular, ketidakselarasan sesar, dan ketidakselarasan lateral.
      • Erosi: Erosi dapat menyebabkan celah atau diskontinuitas antara dua lapisan batuan sedimen yang berbeda usia dengan cara menyebabkan pengikisan atau penghancuran pada lapisan-lapisan batuan sedimen tersebut. Contoh celah atau diskontinuitas yang disebabkan oleh erosional adalah ketidakselarasan erosional dan ketidakselarasan non-konformitas.
      • Non-deposisional: Non-deposisional dapat menyebabkan celah atau diskontinuitas antara dua lapisan batuan sedimen yang berbeda usia dengan cara menyebabkan tidak adanya pengendapan pada lapisan-lapisan batuan sedimen tersebut. Contoh celah atau diskontinuitas yang disebabkan oleh non-deposisional adalah ketidakselarasan hiatal dan ketidakselarasan parakonformitas.

      Berikut adalah gambar yang mengilustrasikan penerapan prinsip-prinsip stratigrafi pada konstruksi geologi regional dari Cekungan Ombilin:

      Gambar penerapan prinsip-prinsip stratigrafi pada konstruksi geologi regional dari Cekungan Ombilin

  • Pulau Jawa: Pulau Jawa adalah suatu pulau yang terletak di tengah-tengah Indonesia. Pulau ini memiliki luas sekitar 132.000 km2 dan panjang sekitar 1.000 km. Pulau ini terbentuk akibat subduksi lempeng Indo-Australia di bawah lempeng Eurasia sejak zaman Mesozoikum hingga Kainozoikum. Pulau ini mengandung berbagai jenis batuan, seperti batuan beku, batuan sedimen, dan batuan metamorf. Pulau ini juga mengandung berbagai sumber daya alam, seperti minyak bumi, gas alam, panas bumi, dan mineral.Prinsip-prinsip stratigrafi yang digunakan untuk membangun gambaran geologi regional dari Pulau Jawa antara lain adalah:
    • Prinsip superposisi: Prinsip ini digunakan untuk menentukan urutan kronologis dari lapisan-lapisan batuan di Pulau Jawa. Berdasarkan prinsip ini, lapisan batuan yang paling bawah adalah yang paling tua, sedangkan lapisan batuan yang paling atas adalah yang paling muda. Lapisan-lapisan batuan di Pulau Jawa dapat dibagi menjadi beberapa kelompok berdasarkan usia dan litologi mereka. Kelompok-kelompok tersebut adalah:
      Nama Kelompok Usia Litologi
      Kelompok Pra-Tersier Pra-Kambrium hingga Paleogen Batuan metamorf, seperti gneis, sekis, filit, dan marmer
      Kelompok Tersier Paleogen hingga Neogen Batuan sedimen, seperti konglomerat, pasir, lanau, batugamping, dan shale
      Kelompok Kuarter Pleistosen hingga Holosen Batuan beku, seperti andesit, basalt, riolit, dan tuf
    • Prinsip horisontalitas asal: Prinsip ini digunakan untuk menentukan orientasi asal dari lapisan-lapisan batuan di Pulau Jawa. Berdasarkan prinsip ini, lapisan-lapisan batuan yang terbentuk dari proses sedimentasi cenderung tersusun secara horizontal atau mendekati horizontal pada saat pengendapan. Jika lapisan-lapisan batuan tersebut mengalami kemiringan atau lipatan, maka hal itu disebabkan oleh proses tektonik atau deformasi setelah pengendapan. Proses tektonik atau deformasi yang mempengaruhi Pulau Jawa antara lain adalah:
      • Subduksi lempeng Indo-Australia di bawah lempeng Eurasia yang menyebabkan kompresi dan lipatan pada lapisan-lapisan batuan di Pulau Jawa.
      • Aktivitas sesar-sesar yang berhubungan dengan zona subduksi yang menyebabkan patahan dan pergeseran pada lapisan-lapisan batuan di Pulau Jawa.
      • Intrusi magma yang berasal dari mantel bumi yang menyebabkan pembengkakan dan pengangkatan pada lapisan-lapisan batuan di Pulau Jawa.
    • Prinsip pemotongan silang: Prinsip ini digunakan untuk menentukan hubungan usia antara struktur geologi yang memotong atau menembus lapisan-lapisan batuan di Pulau Jawa. Berdasarkan prinsip ini, struktur geologi yang memotong atau menembus lapisan-lapisan batuan lebih muda daripada lapisan-lapisan batuan yang dipotong atau ditembusnya. Struktur geologi yang memotong atau menembus lapisan-lapisan batuan di Pulau Jawa antara lain adalah:
      • Sesar-sesar yang berhubungan dengan zona subduksi yang memotong lapisan-lapisan batuan dari berbagai kelompok di Pulau Jawa. Sesar-sesar ini dapat dibedakan menjadi sesar normal, sesar geser, dan sesar naik.
      • Intrusi magma yang berasal dari mantel bumi yang menembus lapisan-lapisan batuan dari berbagai kelompok di Pulau Jawa. Intrusi magma ini dapat berupa sill, dike, lakolit, atau batolit.
      • Gunung berapi yang berasal dari subduksi lempeng Indo-Australia yang memotong lapisan-lapisan batuan dari kelompok Kuarter di Pulau Jawa. Gunung berapi ini dapat membentuk batuan beku atau piroklastik.
    • Prinsip kesinambungan lateral: Prinsip ini digunakan untuk menentukan keterhubungan lateral antara lapisan-lapisan batuan di Pulau Jawa. Berdasarkan prinsip ini, lapisan-lapisan batuan yang terbentuk dari proses sedimentasi cenderung berlanjut secara lateral dalam jarak yang cukup jauh, kecuali jika terhalang oleh suatu batas fisik atau perubahan lingkungan pengendapan. Batas fisik atau perubahan lingkungan pengendapan yang mempengaruhi kesinambungan lateral dari lapisan-lapisan batuan di Pulau Jawa antara lain adalah:
      • Samudra Hindia dan Laut Jawa yang membentuk batas fisik.
      • Tektonik: Tektonik dapat menyebabkan celah atau diskontinuitas antara dua lapisan batuan yang berbeda usia dengan cara menyebabkan pengangkatan, penurunan, lipatan, patahan, atau pergeseran pada lapisan-lapisan batuan tersebut. Contoh celah atau diskontinuitas yang disebabkan oleh tektonik adalah ketidakselarasan angular, ketidakselarasan sesar, dan ketidakselarasan lateral.
      • Erosi: Erosi dapat menyebabkan celah atau diskontinuitas antara dua lapisan batuan yang berbeda usia dengan cara menyebabkan pengikisan atau penghancuran pada lapisan-lapisan batuan tersebut. Contoh celah atau diskontinuitas yang disebabkan oleh erosional adalah ketidakselarasan erosional dan ketidakselarasan non-konformitas.
      • Non-deposisional: Non-deposisional dapat menyebabkan celah atau diskontinuitas antara dua lapisan batuan yang berbeda usia dengan cara menyebabkan tidak adanya pengendapan pada lapisan-lapisan batuan tersebut. Contoh celah atau diskontinuitas yang disebabkan oleh non-deposisional adalah ketidakselarasan hiatal dan ketidakselarasan parakonformitas.

      Berikut adalah gambar yang mengilustrasikan penerapan prinsip-prinsip stratigrafi pada konstruksi geologi regional dari Pulau Jawa:

      Gambar penerapan prinsip-prinsip stratigrafi pada konstruksi geologi regional dari Pulau Jawa

  • Selat Makassar: Selat Makassar adalah suatu selat yang memisahkan Pulau Kalimantan dan Pulau Sulawesi di Indonesia. Selat ini memiliki lebar sekitar 150 km dan kedalaman sekitar 2.500 m. Selat ini terbentuk akibat subduksi lempeng Indo-Australia di bawah lempeng Eurasia sejak zaman Mesozoikum hingga Kainozoikum. Selat ini mengandung berbagai jenis batuan sedimen, seperti pasir, lanau, shale, batugamping, dan dolomit. Selat ini juga mengandung berbagai sumber daya alam, seperti minyak bumi, gas alam, dan mineral.Prinsip-prinsip stratigrafi yang digunakan untuk membangun gambaran geologi regional dari Selat Makassar antara lain adalah:
    • Prinsip superposisi: Prinsip ini digunakan untuk menentukan urutan kronologis dari lapisan-lapisan batuan sedimen di Selat Makassar. Berdasarkan prinsip ini, lapisan batuan yang paling bawah adalah yang paling tua, sedangkan lapisan batuan yang paling atas adalah yang paling muda. Lapisan-lapisan batuan sedimen di Selat Makassar dapat dibagi menjadi beberapa formasi berdasarkan usia dan litologi mereka. Formasi-formasi tersebut adalah:
      Nama Kelompok Usia Litologi
      Kelompok Pra-Tersier Pra-Kambrium hingga Paleogen Batuan metamorf, seperti gneis, sekis, filit, dan marmer
      Kelompok Tersier Paleogen hingga Neogen Batuan sedimen, seperti konglomerat, pasir, lanau, batugamping, dan shale
      Kelompok Kuarter Pleistosen hingga Holosen Batuan beku, seperti andesit, basalt, riolit, dan tuf
    • Prinsip horisontalitas asal: Prinsip ini digunakan untuk menentukan orientasi asal dari lapisan-lapisan batuan sedimen di Selat Makassar. Berdasarkan prinsip ini, lapisan-lapisan batuan sedimen yang terbentuk dari proses sedimentasi cenderung tersusun secara horizontal atau mendekati horizontal pada saat pengendapan. Jika lapisan-lapisan batuan sedimen tersebut mengalami kemiringan atau lipatan, maka hal itu disebabkan oleh proses tektonik atau deformasi setelah pengendapan. Proses tektonik atau deformasi yang mempengaruhi Selat Makassar antara lain adalah:
      • Subduksi lempeng Indo-Australia di bawah lempeng Eurasia yang menyebabkan kompresi dan lipatan pada lapisan-lapisan batuan sedimen di Selat Makassar.
      • Aktivitas sesar-sesar yang berhubungan dengan zona subduksi yang menyebabkan patahan dan pergeseran pada lapisan-lapisan batuan sedimen di Selat Makassar.
      • Intrusi magma yang berasal dari mantel bumi yang menyebabkan pembengkakan dan pengangkatan pada lapisan-lapisan batuan sedimen di Selat Makassar.
    • Prinsip pemotongan silang: Prinsip ini digunakan untuk menentukan hubungan usia antara struktur geologi yang memotong atau menembus lapisan-lapisan batuan sedimen di Selat Makassar. Berdasarkan prinsip ini, struktur geologi yang memotong atau menembus lapisan-lapisan batuan sedimen lebih muda daripada lapisan-lapisan batuan sedimen yang dipotong atau ditembusnya. Struktur geologi yang memotong atau menembus lapisan-lapisan batuan sedimen di Selat Makassar antara lain adalah:
      • Sesar-sesar yang berhubungan dengan zona subduksi yang memotong lapisan-lapisan batuan sedimen dari berbagai formasi di Selat Makassar. Sesar-sesar ini dapat dibedakan menjadi sesar normal, sesar geser, dan sesar naik.
      • Intrusi magma yang berasal dari mantel bumi yang menembus lapisan-lapisan batuan sedimen dari berbagai formasi di Selat Makassar. Intrusi magma ini dapat berupa sill, dike, lakolit, atau batolit.
    • Prinsip kesinambungan lateral: Prinsip ini digunakan untuk menentukan keterhubungan lateral antara lapisan-lapisan batuan sedimen di Selat Makassar. Berdasarkan prinsip ini, lapisan-lapisan batuan sedimen yang terbentuk dari proses sedimentasi cenderung berlanjut secara lateral dalam jarak yang cukup jauh, kecuali jika terhalang oleh suatu batas fisik atau perubahan lingkungan pengendapan. Batas fisik atau perubahan lingkungan pengendapan yang mempengaruhi kesinambungan lateral dari lapisan-lapisan batuan sedimen di Selat Makassar antara lain adalah:
      • Pulau Kalimantan dan Pulau Sulawesi yang membentuk batas fisik bagi lapisan-lapisan batuan sedimen di Selat Makassar. Pulau Kalimantan dan Pulau Sulawesi juga merupakan sumber material sedimen yang terbawa oleh arus sungai ke Selat Makassar.
      • Perubahan iklim yang menyebabkan perubahan lingkungan pengendapan dari lapisan-lapisan batuan sedimen di Selat Makassar. Perubahan iklim ini dapat berupa perubahan suhu, curah hujan, arah angin, atau tingkat laut.
    • Prinsip keselarasan: Prinsip ini digunakan untuk menentukan korelasi atau kesamaan usia antara lapisan-lapisan batuan sedimen di Selat Makassar. Berdasarkan prinsip ini, lapisan-lapisan batuan sedimen yang memiliki kesamaan dalam hal litologi, fosil, atau karakteristik lainnya dapat dikorelasikan atau disamakan usianya, baik secara lokal maupun regional. Korelasi atau kesamaan usia antara lapisan-lapisan batuan sedimen di Selat Makassar dapat ditentukan dengan menggunakan beberapa metode, seperti:
      • Metode litologi: Metode ini menggunakan kesamaan litologi atau jenis batuan sebagai dasar untuk mengorelasikan lapisan-lapisan batuan sedimen. Metode ini dapat digunakan untuk mengorelasikan lapisan-lapisan batuan sedimen yang memiliki litologi yang khas atau unik, seperti pasir, shale, atau dolomit.
      • Metode fosil: Metode ini menggunakan kesamaan fosil atau sisa-sisa organisme sebagai dasar untuk mengorelasikan lapisan-lapisan batuan sedimen. Metode ini dapat digunakan untuk mengorelasikan lapisan-lapisan batuan sedimen yang mengandung fosil yang berumur pendek atau spesifik, seperti foraminifera, radiolaria, atau moluska.
      • Metode isotop: Metode ini menggunakan kesamaan isotop atau variasi atom dari suatu unsur sebagai dasar untuk mengorelasikan lapisan-lapisan batuan sedimen. Metode ini dapat digunakan untuk mengorelasikan lapisan-lapisan batuan sedimen yang mengandung unsur-unsur yang memiliki isotop yang stabil atau radioaktif, seperti karbon, oksigen, atau kalium.
    • Prinsip ketidakselarasan: Prinsip ini digunakan untuk menentukan adanya celah atau diskontinuitas antara dua lapisan batuan sedimen yang berbeda usia di Selat Makassar. Berdasarkan prinsip ini, jika terdapat suatu celah atau diskontinuitas antara dua lapisan batuan sedimen yang berbeda usia, maka hal itu menunjukkan adanya suatu peristiwa geologi yang mengganggu proses sedimentasi di antara kedua lapisan batuan sedimen tersebut. Peristiwa geologi yang mengganggu proses sedimentasi antara lain adalah:
      • Tektonik: Tektonik dapat menyebabkan celah atau diskontinuitas antara dua lapisan batuan sedimen yang berbeda usia dengan cara menyebabkan pengangkatan, penurunan, lipatan, patahan, atau pergeseran pada lapisan-lapisan batuan sedimen tersebut. Contoh celah atau diskontinuitas yang disebabkan oleh tektonik adalah ketidakselarasan angular, ketidakselarasan sesar, dan ketidakselarasan lateral.
      • Erosi: Erosi dapat menyebabkan celah atau diskontinuitas antara dua lapisan batuan sedimen yang berbeda usia dengan cara menyebabkan pengikisan atau penghancuran pada lapisan-lapisan batuan sedimen tersebut. Contoh celah atau diskontinuitas yang disebabkan oleh erosional adalah ketidakselarasan erosional dan ketidakselarasan non-konformitas.
      • Non-deposisional: Non-deposisional dapat menyebabkan celah atau diskontinuitas antara dua lapisan batuan sedimen yang berbeda usia dengan cara menyebabkan tidak adanya pengendapan pada lapisan-lapisan batuan sedimen tersebut. Contoh celah atau diskontinuitas yang disebabkan oleh non-deposisional adalah ketidakselarasan hiatal dan ketidakselarasan parakonformitas.

      Berikut adalah gambar yang mengilustrasikan penerapan prinsip-prinsip stratigrafi pada konstruksi geologi regional dari Selat Makassar:

      Gambar penerapan prinsip-prinsip stratigrafi pada konstruksi geologi regional dari Selat Makassar

Demikianlah artikel yang saya buat tentang penerapan prinsip stratigrafi pada konstruksi geologi regional di Indonesia. Saya harap artikel ini dapat bermanfaat bagi Anda yang tertarik dengan topik ini. Jika Anda memiliki pertanyaan, saran, atau kritik, silakan tulis di kolom komentar di bawah ini. Terima kasih telah membaca artikel ini. Sampai jumpa di artikel selanjutnya.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top